Pages

Sabtu, 01 Januari 2011

Amazing Adventure Chapter ~ Drei (3) ~ {The Portal }

Chapter ~ Drei ~ {The Portal }






The Portal


            “Ini dia firasat burukku… Haruskah kami memasukinya? Aduuh… Ya Tuhan, apa yang harus kupilih? Aku tak tahu…”

≈≈≈~≈≈≈
            “Kyuhyun! Ayo cepat kesini!” panggil Minnie dari depan rumahnya. Kyuhyun menghampiri Minnie dengan setengah berlari. “Ha ha ha ha hahh… A.. da… A… pa?” Tanya Kyuhyun dengan nafas masih tersengal-sengal. Seketika senyum tipis merekah diwajah Minnie.
            “Umma kemarin ikut lotre, terus dapet hadiah ke-empat. Hadiahnya tiket Festival hari ini…” terang Minnie sambil mengajak Kyuhyun masuk ke rumahnya.
            “Memang hari ini ada festival?” Tanya Kyuhyun polos. Dan kepolosannya itu membuat Minnie gemas. “Yaa!! Kyuhyun! Sudah berapa lama kamu tinggal di Tokyo ini?!” Tanya Minnie dengan nada sedikit berteriak.
            “Hmmm… Aku pindah ke Jepang pas umur lima tahun, itu berarti aku sudah tinggal di Tokyo ini selama sepuluh tahun…” jawab Kyuhyun sambil menyeruput es jeruk yang telah disediakan Minnie.
            “Sudah sepuluh tahun kau di Tokyo tapi tidak tahu festival hari ini?!” teriak Minnie sedikit frustasi. “Ah… Oh… Baiklah… Hari ini ada festival musim panas di danau dekat kedai Michaelis… Kau ingat?” Minnie menyerahkan selebaran yang ada di buffet dekat kursi yang tengah diduduki oleh Kyuhyun.
            “Ooh… Festival ini toh.. Kukira apa…” bibir Kyuhyun membentuk huruf o bulat. “Terus, apa hubungannya sama aku Minnie?” Mendengar pertanyaan konyol Kyuhyun ini, Minnie menepuk dahinya keras.
            “Kok bisa ya aku jatuh cinta sama orang kayak gini?” batin Minnie gusar. “Kyhyun… Intinya aku ngajak kamu ke festival itu.. Kamu mau nggak?”
            “Kamu mau ke festival bareng aku?” ulang Kyuhyun tidak percaya. “Iya, mau nggak?”
            “Tentu saja aku mau Minnie… Acaranya jam empat sorekan?” Minnie mengangguk pelan.
            “Kyuhyun, mau ngajak Frea dan Rea nggak?”
            “Ngga usah… Mereka mungkin ada rencana tersendiri.” Kyuhyun menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sebenarnya bukan itu alas an Kyuhyun menolak untuk mengajak sahabat-nya itu. Alasannya simple aja, Kyuhyun Cuma ingin berduaan dengan pacarnya. Tanpa diganggu oleh siapapun.
            “Eh, Kyu…”
            “Ya?”
            “Pake yukata nggak ya?”
            “Pake aja… Pasti cantik…” Kyuhyun mengucapkannya diiringi oleh senyum yang hanya ia tunjukkan untuk Minnie seorang. Dan itu membuat pipi Minnie mengeluarkan semburat kemerahan.

≈≈≈~≈≈≈

            Frea mengerjakan PR Bahasa Inggrisnya yang menumpuk bersama Rea. “Emmm… Frea, kamu yang nomer 109 apa jawabannya?”
            “Hmmm… Yang C. Kamu?”
            “Hehehe… Sama…” setelah percakapan basa-basi itu, mereka kembali berkutat dengan PR bahasa inggris itu.
            “Rea,,” panggil Frea.
            “Apa?” sahut Rea tanpa menengok kearah Frea. “Kerumah Minnie yuk?”
            “Ngapain?” kali ini Rea mendongakkan kepalanya agar dapat melihat Frea langsung.
            “Main aja…”
            “Nggak ah, pasti ada Kyuhyun disana. Lebih baik kita beri mereka privasi…” tebak Rea seratus persen tebakannya tepat sasaran.
            “Yaaahh…” Frea kembali merenggut dan menekuni lagi PRnya. “Aahh… Jam empat masih lama ya?” batin Frea sambil melirik jam dinding. Jarum panjang saat itu menunjukkan pukul satu siang.
            “Hayoo!! Jangan liatin jam terus! Kerjakan PRnya!” ucap Rea yang membuyarkan lamunan Frea.

≈≈≈~≈≈≈

            Tes tes tes
            Air mata mengalir turun dari kedua mata Frea. “Wa wa wa wa… Kamu kenapa Frea?” Rea gelagapan melihat air mata mengalir dikedua pipi saudarinya.
            “Re… Rea… I… ini… huweee~!!” Frea memegang sebuah buku. Buku komik. Berjudul Fullmetal Alchemist.  “Memang ada apa dengan komik ini?”
            “Huweee… Baca aja… Sedih banget lho…” Frea menyerahkan komik itu sambil terus menangis. Dengan rasa enggan, Rea menerima komik itu dan mulai membacanya. Jadi begini ceritanya, karena tadi Frea udah ga kuat ngerjain PR bahasa inggrisnya, ia mulai membaca komik Fullmetal Alchemist. Ia membaca saat bagian dimana tokoh utama itu kehilangan kemampuannya.
            Tes tes tes…
            Sekarang giliran air mata Rea yang menetes deras. “Ba… bagaimana? Sedih kan?”
            “I…iya… Sedih banget… Padahal aku kira mereka bakal pake philosopher stone… Ternyata tidak… Hiks… hiks…” Kini, mereka menangis bersama. Menangisi hal yang tidak pernah terjadi.
            “Rea! Frea! Mau ke festival tidak? Sudah jam setengah lima lho…” panggil mamih mereka dari arah dapur. “Ah… Iya mih…” jawab Rea sedikit berteriak.
            “Frea, cepat ganti baju!” Rea menyodorkan yukata yang telah disiapkan oleh mamih untuk Frea.
            “Baik… Lima belas menit lagi, tunggu aku di dapur…” Frea segera berlari menuju kamarnya untuk mengganti bajunya.

≈≈≈~≈≈≈

            Rea terpaku melihat kembarannya. “Manis…” pikirnya. “Ayo kita pergi…” Frea mengandeng tangan Rea dan segera menuju danau itu. Diperjalanan, mereka bertemu Kyuhyun dan Minnie.
            “Minnie!!” panggil Frea dari belakang. Dengan cepat Minnie dan Kyuhyun menoleh. “Frea! Rea!” Minnie melambaikan tangannya.
            “Kalian mau ke festival juga?” Tanya Kyuhyun sedikit kecewa. “Iya…” Rea menjawab pelan.
            “Kita jalan bareng yuk?” ajak Minnie. Sebenarnya Frea ingin sekali menerima ajakan Minnie, namun ia teringat kata-kata Rea saat jalan tadi. “Sebaiknya kita memberikan privasi untuk Minnie dan Kyuhyun. Aku tahu kalau Kyuhyun jarang sekali bisa berduaan dengan Minnie karena kita…”
            “Ah… Maaf ya Minnie, bukannya aku tidak mau. Hanya saja… Aku tidak ingin merusak kencan kalian…” Frea memainkan jari-jarinya sambil menunduk malu.
            Biarpun terlihat cuek dengan kata-kata Frea, Kyuhyun merasa senang Frea mengatakan itu. Samar, sebuah senyum terangkat disudut-sudut bibir Kyuhyun.
            “Ya sudah kalau begitu, kami duluan ya…” Frea meninggalkan Minnie dan Kyhyun didepan gerbang. Sedangkan Rea mengikuti Frea dari belakang.
            DEG.
            “This feeling again…” Rea berhenti sambil memegang dadanya. Bulu kuduknya berdiri. Ada hawa-hawa dingin mengitari dirinya. “Ada apa Rea?” Frea membalikan tubuh. Dilihatnya wajah Rea yang sedikit memucat.
            “Kau sakit?”
            “Ti… Tidak apa… Ayo, kau mau beli apa?” tawar Rea sambil menuju stand takoyaki. “Kau mau?”
            Frea menatap saudaranya curiga. Rea yang sadar ditatap seperti itu langsung membeli dua porsi takoyaki. “Ini bagianmu…” Rea menyerahkan satu porsi takoyaki pada Frea. Frea menerimanya dengan senang hati walau masih terbesit olehnya tentang sikap aneh Rea.
            Duar Duar Duar!!!
            Suara kembang api yang diluncurkan terdengar jelas ditelinga semua orang. “Indahnya…” puji Frea dan Minnie bersamaan namun ditempat yang berbeda.
            DEG. DEG.
            Jantung Frea dan Rea sama-sama berdetak kencang. Bukan karena kembang api. Melainkan karena hawa dingin yang menjalar disekitar mereka. Kini bukan hanya Rea saja yang merasakannya, tapi Frea juga.
            “Rea… kau merasakannya juga?” bisik Frea pelan ketika melihat wajah Rea semakin pucat.
            “Ya… Hawa ini…Berasal dari pohon itu…” Rea menatap sebuah pohon yang besar. Pohon itu berada didekat peluncuran kembang api. “Kita kesana?” Tanya Frea ketakutan.
            “Kalau boleh jujur, aku tak mau kesana. Tapi, hati kecilku menyuruhku kesana. Bagaimana? Kau mau ikut?”
            “Tentu saja! Kita kan sudah berjanji untuk selalu bersama!” Frea memegang lengan Rea. Rea tersenyum tipis kemudian berjalan kearah pohon besar itu.Diikuti oleh Frea yang memegang tangan Rea dengan gemetar hebat.
            Betapa terkejutnya mereka begitu melihat apa yang ada dibawah pohon itu. Sebuah gerbang besar menyita perhatian mereka. “Ooh… Jadi ini asal hawa dingin itu…” gumam Frea.
             “Rea, aku mau masuk ke dalam. Kau bagaimana?”
            “Haruskah dipertanyakan?”

≈≈≈~≈≈≈

“Ini dia firasat burukku… Haruskah kami memasukinya? Aduuh… Ya Tuhan, apa yang harus kupilih? Aku tak tahu… Ya ampun! Adikku ini lebih memilih masuk kedalam? Gawat!” batin Rea. Ditatapnya Frea yang kini tengah memegang gagang gerbang itu.
“Ayo!” Frea menarik lengan saudaranya itu. Dengan langkah mantap namun ragu, Rea melewati gerbang itu.


≈To Be Continued≈

Jumat, 31 Desember 2010

Amazing Adventure Chapter ~ Zwei (2) ~ {Another World}

Chapter ~ Zwei ~ {Another World}



St. Phantomhive



            “Aku yakin pasti bisa melakukannya!! Kalau tidak bisa, itu akan mempermalukan keluarga Saintcave! Well, rasa ingin tahuku ini lebih besar dari apapun juga. Walau aku tidak sepintar dia…”

≈≈≈~≈≈≈

            Disuatu tempat, ada sebuah dunia yang tak mungkin kita sadari, dunia yang kita anggap hanya ada dalam imajinasi. Apapun kata orang, kita hanya tahu bahwa dunia itu hanya sekedar dongeng belaka. Namun sayang… Dunia ini benar-benar ada. Nama dunia ini adalah… Magical World. Tempat yang penuh dengan sihir. Sihir yang sudah hilang dari dunia kita berjuta-juta—bahkan bermilyar-milyar dekade sebelum ini.
            Ada dua orang sahabat yang selalu bersama-sama. Mereka adalah Alice dan Oz. Mereka sama-sama berasal dari keluarga bangsawan yang paling terkenal di dunia itu. Alice Gidelhart dan Oz Saintcave. Maka, tak heran kalau mereka berdua saling kenal.
            “Kyaaaa~!!!” teriak segerombolan anak perempuan di sebuah sekolah. St. Phantomhive. Mereka berteriak karena sebuah sosok berjalan ditengah-tengah mereka. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Oz Saintcave. Tak jauh dari situ, seorang gadis yang sedang duduk dibawah pohon sambil membaca buku, ditatap oleh puluhan—mungkin ratusan pasangan mata. Gadis itu adalah Alice Gidelhart.
            Oz menghampiri Alice yang sedang membaca buku tebal itu. Dan kini anak-anak perempuan ataupun laki-laki sama-sama berkumpul untuk melihat idola mereka.
            “Yow!” sapa Oz simple.
            “Oh… Kau Oz. Pantas dari tadi berisik banget. Ternyata kamu toh…” Alice menatap Oz dari balik buku tebalnya. “Ada apa?”
            “Ngga… Cuma mau ngajak pulang bareng… Mau ngga?”
            “Boleh, tapi nanti ke Railpalace dulu.”
            “Mau ngapain?”
            “Ada buku yang ketinggalan kemarin…”
            “Oh, oke deh…” kemudian Oz berlalu meninggalkan Alice. Well, Railpalace adalah nama sebuah tempat perkumpulan empat keluarga bangsawan terbesar. Gidelhart, Saintcave, Vessalyn, dan Nightfield. Keempat keluarga itu selalu berdiskusi disaat-saat tertentu mengenai Magical World ini. Keempat keluarga ini juga menguasai hampir seluruh aset magical world yang luas ini. Dan mrekapun tidak pernah saling bersaing karena mereka menguasai bagian-bagian yang berbeda.
            Keluarga Gidelhart, menguasai ilmu sihir paling tinggi, gate, pertambangan dunia, dan pembuatan barang-barang sihir. Keluarga Saintcave, menguasai bidang kedokteran dan berbagai hal yang berhubungan dengan itu. Keluarga Vessalyn, menguasai perekonomian dunia kecuali pertambangan. Dan keluarga Nightfield, menguasai kependidikan dan publikasi. Sisanya dipegang oleh kementerian sihir.
Teng tong teng tong teng teng tong teng tong… Bel memecah keheningan sekolah murid-murid yang belajar. Tak butuh waktu lama bagi sekolah itu untuk kembali menjadi ramai kembali. Alice mendatangi perpustakaan sekolah untuk mencari sesuatu. Tak sangka disitu ia menemui sebuah sosok yang jarang tampak diperpustakaan. Sosok itu adalah Donghae. Salah satu penyihir playboy yang kerjanya cuman menggoda anak-anak perempuan.
            “Hai!” sapa Donghae.
            “Oh… hai, ada apa?” jawab Alice acuh tak acuh.
            “Cuma mau nanya soal jawaban kamu atas pernyataanku yang kemarin… Gimana?” Tanya Donghae sambil mendekati Alice. Alice mengerti maksud pertanyaan Donghae. “Maaf, tapi aku masih belum ingin pacaran. Cari perempuan lain saja,” tolak Alice. Donghae menaikkan sebelah alis matanya tanda tak percaya. Gimana mungkin cowok ganteng, salah satu dari empat bangsawan besar dan romantic ini ditolak oleh Alice! Cewek yang ditaksirnya sejak lama.
            “Apa karena ada Oz dihatimu?”
            “Oz? Hahaha… Tidak, dia tidak lebih dari sekedar sahabat. Aku sama dia Cuma teman sejak kecil…” kelakar Alice. Ia tak percaya sempat-sempatnya Donghae berpikir ia menyukai Oz. Oh, Well, ya memang Alice menyukai Oz. Tapi hanya rasa suka sebatas teman. Tidak lebih juga tidak kurang.
            “Donghae… Masih ada Hyukie… Ia gadis yang lebih cantik dari aku juga lebih baik.” Alice menepuk bahu kanan Hae dan meninggalkannya sendirian dibangku yang ditempatinya.
            “Oh… Bullshit!” umpat Hae dalam hati. Ia tahu kalau Alice berkata seperti itu karena Hyukie naksir berat ke Hae. Alice mengembalikan setumpuk buku yang sempat ia pinjam beberapa minggu yang lalu. Setelah mengembalikkan buku, ia segera keluar menuju kelas Oz.
            “Oz?”
            “Oh, kau Alice. Sini! Aku masih harus piket dulu…” tampak sosok Oz sedang menghapus papan tulis bersama teman sekelasnya yang lain. “Mau kubantu?” Tawar Alice ke seorang siswi yang sedang mengelap jendela yang penuh debu.
            “Oh, nona Alice. Jangan. Nanti tangan nona kotor…” gadis itu mnggeleng pelan.
            “Panggil aku Alice saja… Tidak apa… Aku senang bersih-bersih kok…” sekali lagi Alice menawarkan diri. “Baiklah…”
            Alice menerima lap yang dipegang gadis itu dan segera mengelap jendela. Gadis itu mengambil sapu disudut ruangan sambil menatap Alice. “Nona Alice memang cantik ya. Tubuhnya yang langsing, matanya yang hijau… Benar-benar mata seorang penyihir sejati! Dan oh, rambut pirangnya cantik sekali! Berkilauan begitu ditimpa sinar matahari. Belum lagi sikap ramah dan kepintarannya. Perfect banget!” Batin gadis itu sambil tersenyum simpul. Pandangannya beralih kearah Oz yang sedang merapihkan meja guru.
            “Apa seluruh keluarga bangsawan itu cantik-cantik dan tampan-tampan ya? Lihat saja Tuan Oz. Ia tinggi, pintar, dan tampan. Matanya berwarna merah darah… Ciri khas keluarga Saintcave.. Tuan Donghae dan Nona Maria juga sama,”
            “Kau kenapa?” sebuah suara membuyarkan lamunan si gadis. Dihadapannya kini berdiri sosok Alice dan Oz yang tampak khawatir. Sontak ia kaget dan mundur selangkah.
            “Tidak ada apa-apa… Ah, kelas ini sudah bersih, sebaiknya kita sudahkan saja piket hari ini..” ujar gadis itu sambil meletakkan kembali sapu yang tidak jadi ia gunakan.Alice dan Oz hanya mengedikkan bahu. Tak mengerti mengapa wajah gadis itu memerah.

            “Selamat siang Nona Alice dan Tuan Oz…” ucap seluruh pelayan—atau pekerja Railpalace kepada mereka begitu mereka memasuki wilayah Railpalace. Letak Railpalace dari St. Phantomhive memang tidak terlalu jauh. Makanya, hanya dengan berjalan kaki tiga puluh menit, mereka sudah sampai. Kalau naik sapu terbang cuman memakan waktu sepuluh menit. Dan mereka biasanya lebih sering berjalan kaki ketimbang menaiki sapu terbang. Alasannya simple aja. Pingin olahraga.
            “Eh, Alice…” panggil Oz ketika mendapati dirinya hanya berdua saja diruang peristirahatan.
            “Ada apa?”
            “Nggg… Keluarga kamu yang ngurusin soal sihir kan dan punya berbagai macam buku sihir terlarang kan?”
            “Iya… Memang ada apa?” sebuah firasat buruk terlintas dibenakknya.
            “Aku pinjem salah satu bukunya doong… Please…” Oz memohon dengan mata berbinar-binar.
            “Buku apa yang mau kau pinjem?”
            “Forbidden-book…” jawab Oz pelan.
            “Eeeeh??? Yakin kamu mau pinjem yang itu? Itukan terlarang banget. Bakal susah lho dapet izinnya…” tutur Alice kaget.
            “Ma-ka-nya… Itulah gunanya ada kamu Alice… Aku minta tolong buat dapet izinnya… Gimana?”
            “Oke deh… Aku usahain tapi… kalo tidak berhasil jangan marah ya?”
            “Iya deh… Tapi usahain dapet yah?”
            “Iya iya…” Alice hanya bisa pasrah. Ia tahu Oz bakal tetep ngotot sampai keinginannya terpenuhi. “Yuk pulang…”

            Ditengah gelapnya malam, semua orang tengah terlelap dalam mimpinya masing-masing. Namun tidak dengan Alice. Ia sedang mengendap-endap menuju sebuah ruangan. Ruang kerja Tuan besar Gidelhart—ayah atau kepala keluarga Gidelhart.
            Tok Tok Tok… Alice mengetuk ruang kerja itu. Ia tahu masih ada orang diruangan itu. “Ya, masuk…”
            “Ayah…” panggil Alice takut-takut. “Oh… Alice, ada apa?”
            “Nggg… Aku ada sebuah permintaan…” Alice menundukkan wajahnya.
            “Apa itu?”
            “Boleh pinjam buku forbidden-book?” Sontak, sang ayah terkejut. Matanya membelalak tak percaya.
            “No.” tegas sang ayah.
            “Tapi ayah…”
            “Tidak ada tapi-tapian! Sekarang cepat kembali kekamarmu dan tidurlah!” Alice keluar ruangan itu dengan wajah merenggut. Ia tahu pasti akan ditolak, namun apa salahnya mencoba?
            “Yaahh… Ngga boleh… hmmm…” sambil berjalan kekamarnya, Alice tampak berpikir keras. Sebuah ide cemerlang terlintas diotaknya yang pintar.
            “Hehehehe… Kalo nggak bisa dengan cara baik-baik… Kan bisa kupinjam tanpa izin…” seringai jahat terukir jelas diwajah manisnya itu. Dengan perlahan-lahan, Alice berjalan kearah yang berlawanan dengan kamarnya. Ia berjalan kearah ruang perpustakaan. Perpustakaan paling lengkap diantara empat keluarga bangsawan. Dan disitu pula letak disembunyikannya forbidden-book.
            “Bagus deh sepi… Hmmm, mulai dari mana yah?” Alice mengunjungi salah satu deret rak buku yang menjulang tinggi ke langit-langit. “Iiiihh… Tinggi banget! Ah, pake sihir aja…”
            Alice merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah tongkat kecil sepanjang kurang lebih 30cm.
            “Rapidly ascending…” gumam Alice. Tampak seberkas sinar mengelilingi Alice. Kemudian perlahan-lahan tubuh Alice terangkat keatas. “Hmmm... Kayaknya bukan disini…” Alice terbang meninggalkan rak buku itu dan beralih kesebuah rak dari kayu eboni. Rak tempat buku-buku terlarang berada. Mata Alice mencari forbidden-book dengan cekatan. Matanya terarah kebagian tengah rak. Sebuah buku berwarna ungu dengan ketebalan tak terkira, terpampang jelas. Diraihnya buku itu. Tapi, sama sekali tak ada judul untuk buku yang tebal itu. Dengan rasa penasaran, Alice membuka buku dan membacanya.
            “Bab I… The Gate… To getting of best of this secret magic, you must have a big power of magic. Usually, only four big noble who can use it. They are Gidelhart, Saintcave, Vessalyn, and Nightfield. But, the best are Gidelhart and Saintcave. They can open the gate to another world. Or always we called as Jotunheimer, or human world.” Alice melotot tak percaya dengan apa yang dibacanya.
            “Jadi… Ada dunia lain selain dunia ini??” bisik Alice sangat pelan. Alice membawa buku itu dan kembali kekamarnya. Ada sebuah rasa ingin tahu yang begitu besar mengenai dunia lain itu.
Apparent this book,” Alice mengayunkan tongkatnya kearah buku itu. Buku berwarna ungu itu kini berubah menjadi warna merah muda yang cantik dengan tulisan emas sebagai judulnya, Little Witch and the Magical Pearl. Sebuah judul buku dongeng anak-anak. Biarpun sampulnya berubah, namun isinya sama sekali tak berubah sedikitpun.

            “Oz…” panggil Alice dari  balik pintu kelas Oz. Segeralah Oz menoleh kearah sumber suara.
            “Yo! Ada apa?”
            “Ini soal buku itu…” ujar Alice sedikit ketakutan. “Kau dapat bukunya?”
            “Entahlah… Aku tidak tahu apa ini buku yang kamu cari…” Alice menunjukkan sebuah buku tebal berwarna merah muda. Terang saja Oz kaget.
            “Huwahahahahaha!!! Alice Alice… Inikan buku dongeng… Bukan buku itu…” gelak Oz.
            “Jangan lihat sampulnya. Lihat saja dalamnya!” bentak Alice dengan nada sedikit mengancam. Oz membuka buku itu sedikit dan membaca judul bab I. “The Gate…”
            “Yap… Ini buku yang kucari… Tapi, sebaiknya kau sembunyikan buku ini! Jangan sampai ada satu orangpun yang tahu kita membacanya!” bisik Oz tepat ditelinga Alice. Alice mengangguk tanda mengerti dan segera kembali kekelasnya. Disembunyikannya buku itu disebuah kantong plastic berwarna perak hingga Oz menghampirinya saat pulang sekolah.
            “Alice, kita pulang sekarang…” Alice mengangguk pelan seraya memegang erat tasnya. Mereka tidak pulang kerumah masing-masing. Melainkan ke sebuah padang kecil dan terpencil didaerah situ. Mereka duduk diatas dahan pohon besar sambil membaca buku yang dipesan Oz.
            “Memang kenapa kau mau baca buku ini?”
            “Karena… Aku penasaran dengan makhluk dunia lain. Kupikir sekiranya dibuku ini ada cara untuk ke dunia lain itu.” Jawab Oz enteng. Alice menggeleng-geleng kepalanya. Setelah Oz selesai membaca hingga bab yang paling ia cari, ia mengembalikan buku itu pada Alice.
            “Tengah malam nanti temui aku disini. Dan bawa buku itu…” perintah Oz. Alice menatap Oz sedikit ragu. “Apa?”
            “Tidak, tidak apa-apa…” elak Alice. Sekarang, mereka benar-benar pulang kerumah masing-masing. Alice merasa gelisah menunggu tengah malam datang. Sesekali ia melirik ke arah jam tangan. Berkali-kali ia melakukannya hingga jam menunjukkan waktu pukul 23.00. Jarak dari kediaman Gidelhart ke padang itu, memakan waktu satu jam. Sehingga Alice segera menyambar sapu terbangnya dan menuju padang itu.
            “Oz… Oz…” panggil Alice dari bawah pohon.
            “Ah… Alice, aku turun sekarang…” Oz menampakkan dirinya dari atas pohon.
            “Jadi, kau mau ngapain?”
            “Ngg… Kau bawa bukunya?”
            “Iya… Ini…” Alice menyerahkan buku tebal itu. Oz menerimanya dengan wajah penuh senyum. Ia membuka-buka halaman buku itu dengan kasar.
            “Hei! Jangan merusaknya! Itu buku berharga tau!!” bentak Alice sambil berkacak pinggang.
            “Ah, maaf maaf… Ahh… Ini dia. Alice, aku ingin membuka gate dengan mantra ini... Gimana menurut kamu?” Oz menunjuk kesalah satu kalimat dibuku itu.
WHAT THE HELL? Ini aku yang gila atau kamunya yang bego yah?”
            “Tidak keduanya!”
“Eeeeh?? Serius? Kamu mau membuka gate?”
            “Yap. Aku serius… Ada yang ingin aku… Ah, tidak lupakan…”
            “Tapi, kaui tahukan bahwa ada Undang-Undang yang mengatur tentang gate? Kita tidak boleh sembarangan membuka gate tanpa izin kementerian!! Kalau ketahuan…” Alice bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi.
            “Tapi akukan salah satu dari empat bangsawan besar lho… Kau lupa ya?”
            “Tidak ada pengecualian untuk itu!”
            “Ayolah Alice… Kamu pura-pura tidak lihat saja ya?” bujuk Oz. Alice sejak kecil memang tidak suka dilihat dengan tatapan memohon seperti Oz sekarang.
            “Aaaa… Baiklah… Tapi janji kalau ada apa-apa kau yang tanggung jawab! Aku tak mau terlibat dengan kekonyolanmu! Oke?” Alice menyodorkan jari kelingkingnya. Mengerti maksud Alice, Oz menautkan kelingking mereka erat. “Aku janji…”
            Ditengah-tengah padang, Oz menggambar sebuah lingkaran. Lingkaran transmutasi. Lingkaran yang sering dibuat oleh para Alchemist.
            “Kau siap Oz?”
            “Emm… Aku siap.. Mundurlah… Aku akan segera mengucapkan mantranya…” Oz mengisyaratkan agar Alice mundur menjauhi lingkaran transmutasi itu.
            “Aku yakin pasti bisa melakukannya!! Kalau tidak bisa, itu akan mempermalukan keluarga Saintcave! Well, rasa ingin tahuku ini lebih besar dari apapun juga. Walau aku tidak sepintar Alice…”
Open the portal to Jotunheimer!” gumam Oz pelan namun masih dapat terdengar oleh Alice yang jaraknya sepuluh meter dari tempat Oz berdiri. Sinar hijau muncul dari garis-garis lingkaran transmutasi. Kemudian sebuah benda muncul dihadapan Oz. Benda itu berbentuk gerbang. Pintu gerbang perlahan-lahan terbuka. Menampakkan sesosok anak kembar sedang makan takoyaki. Mereka tertawa dan bercanda bersama. Namun, penampakkan itu hanya sesaat saja. Karena tak lama kemudian, gerbang itu menghilang dari hadapan Oz.
            “Gimana?” Tanya Alice ketika gerbang tersebut telah menghilang.
            “Kayaknya gagal deh…” Oz tertunduk lesu. Ia tak menyangka usahanya gagal secepat ini. Alice tampak tak tega pada sahabatnya ini. “Ya sudahlah… Sekarang kita pulang yuk?” Mereka meninggalkan padang itu tanpa tahu apa yang akan terjadi dihari esok.


≈To Be Continued≈

Amazing Adventure Chapter ~ Eins (1) ~ {Together}

Chapter ~ Eins ~ {Together}




            “Kita akan selalu bersama selamanya, dan tidak akan pernah terpisah apapun yang terjadi. Aku janji…”

≈≈≈~≈≈≈

            “Huaaaahh!!! Panas bangeet! Kepanggang aku!” desah Frea sambil mengipas-ngipas lehernya yang kepanasan akibat udara musim panas ini.
            “Cuh! Lebay kau! Aku aja yang kepanasan kagak segitunya. Kamu-nya aja yang terlalu leebaaay!” Rea—kakak kembar Frea—mendorong sedikit pundak Frea pelan sekali.
            Frea hanya bisa mendesah, ditatapnya langit musim panas yang begitu biru cerah tanpa sedikitpun awan yang menghalangi teriknya sinar matahari siang itu. Balkon kamar Rea ini memang tempat favorit mereka buat ngobrol nyantai.
            “Hmmm… Hehehehe,”  sebuah ide terlintas dibenak Frea, yang membuatnya nyengir-nyengir gak jelas.
            “Ada apa?” Tanya Rea curiga.
            “Hmmm, Rea, gimana kalau kita ke kedai ice cream Michaelis itu? Kan kayaknya seger tuh, minum es krim ditengah cuaca gini…” Tanpa menunggu pendapat dari Rea, Frea menarik lengan saudaranya.

            “Mang!! Es krim coklatnya dua yah!” teriak Frea sambil mencari tempat duduk favoritnya. “Siiip deh neng…” mang es krim itu mengacungkan jempolnya. Tanda mengerti.
            Setelah menempati tempat duduknya, Frea menatap pelanggan yang dating dan pergi. Hari itu memang udara begitu panas dan banyak pengunjung yang hilir mudik. Sebenarnya, kedai ini bukan hanya kedai es krim. Setiap musim pasti kedai ini menjual benda yang berbeda-beda. Seperti saat musim panas ini, kedai ini menjual es krim. Saat musim gugur, mereka menjual jamur matsutake panggang ataupun kukus. Musim dingin, menjual berbagai macam minuman hangat. Dan saat musim semi, mereka menjual cake. Karena system seperti itulah kedai ini dapat bertahan disegala musim.
            Teng tong teng tong teng teng tong teng tong… Lagu Für Elise karya Bethoven, teralun didalam kedai itu. Kedai ini juga menyediakan berbagai macam nuansa. Klasik, Tradisional, Jazz, Pop, dan lain sebagainya.
            “Lagunya bagus banget ya Rea..”
            “Kau selalu mengatakan hal itu, Frea…” ujar Rea tersenyum. Ia tahu betul kalau saudarinya ini sangat menyukai lagu klasik. Apalagi karya Bethoven dan Mozart. Setiap hari, ia pasti mendengarkan alunan music dari arah kamar Rea. Kalau bukan Frea yang memainkan pianonya, pasti dari CD klasiknya. Tanpa sadar, seulas senyum mengembang diwajah Rea bila memikirkan saudarinya.
            “Eh, eh, ngomong-ngomong Frea, liburan musim panas ini kita mau ngapain?”
            “Ngapain aja boleh.. Asal nggak ngebosenin… Dan…” Frea menggenggam erat tangan Rea. Membuat wajah Rea tersipu. “Selalu bersama kamu..” lanjutnya pasti.
            “Lha… Itu kan udah pasti!” Rea menyunggingkan senyum manisnya.
            “Eheem… maaf den Rea, neng Frea mengganggu acara Anda. Ini pesanannya udah jadi… Oh iya, ini servis dari kedai Michaelis untuk pengunjung setia tiap musim..” mang es krim itu meletakkan dua mangkuk es krim coklat dan satu cup besar cornflakes sebagai bonus. Mata Frea berbinar-binar melihat es krim coklat favoritnya ditambah lagi dengan bonus. Disendokkannya es krim coklat yang ada dihadapannya. Namun tidak ia suapkan untuk dirinya, melainkan disuapkan untuk Rea.
            “Aaaa…” rea membuka mulutnya dan menerima suapan saudarinya. “Enak tidak?”
            “Udah jelaskan… Nih giliran kamu. Buka mulutmu…” Rea menyuapkan sesendok es krim untuk saudarinya.
            “Mmmmm… Segernyaaa~!!” Frea memegang kedua pipinya. Bila orang awam yang tidak memperhatikan wajah mereka dengan benar pasti menyangka bahwa mereka itu adalah sepasang kekasih. Sikap mereka yang sangat romantis, bisa membuat semua orang salah paham. Rea sang kakak lelaki bertekad untuk melindungi Frea yang notabennya adik perempuan yang enerjik namun lemah. Sedangkan Frea yang merasa nyaman berada disisi Rea yang selalu menjaga dan memanjakannya.

≈≈≈~≈≈≈
            “Huwee… Hiks hiks hiks…”  Frea kecil menangis dibawah pohon. Rambutnya terpotong tidak rapih dan wajahnya penuh dengan luka gores. Tak hanya itu, pakaiannya pun kotor dan compang camping.
            “Nangis aja terus!!” bentak seorang gadis sambil menodongkan pisau kearah Frea. Frea tersentak ketakutan. “Hiks hiks hiks…” isaknya lagi.
            “Ke… Kenapa kalian jahat padaku? Apa salahku?” Tanya Frea sambil menggenggam kedua tangannya erat-erat.
            “Karena kamu selalu nempel terus sama Rea!” ucap gadis yang lain. “Ta…Tapikan… Aku ini saudaranya. Kami memang selalu bersama-sama…” bela Frea lemah. Ia tahu tak ada gunanya mengatakan itu.
            “Maka dari itu Frea-chan… Karena kau selaluuu nempel sama Rea, kami ingin kau SE-DI-KIT menjauhi Rea!!” gadis yang menodongkan pisau, kini menempelkan mata pisaunya di leher Frea.
            “Hei!! Apa yang kalian lakukan???” teriak Rea yang kebetulan lewat. “Gawat! Itu Rea!!” bisik salah satu gadis itu.
            “Ah… Kalian Hiramoto-san, Kazawa-san, Marui-san dan Mori-san kan? Apa yang telah kalian lakukan pada kembaranku?” Tanya Rea dengan senyum yang mematikan.
            “Ka…Kami…” Hiramoto, yang menodongkan pisau kearah Frea mencicit ketakutan. Yang lainpun sama. “Minnie, tolong jaga Frea. Kyuhyun, bantu aku memberi pelajaran pada gadis-gadis brengsek ini!” Rea memanggil dua orang dari belakang.
            “Frea… Kau tak apa-apa?” Tanya Minnie khawatir. “Iya, tidak apa-apa…”
            Tak butuh banyak waktu untuk memberi pelajaran kepada gadis-gadis itu. Buktinya, Rea dan Kyuhyun segera kembali ke tempat Frea dan Minnie.
            “Frea… Maafkan aku tidak menjagamu dengan benar…” Rea segera menghampiri Frea dan memeluknya erat. “Sudahlah…”
            “Frea, aku janji… Kita tidak akan pernah terpisah lagi apapun yang terjadi. Aku janji…” Rea mengucapkan sebuah janji yang mutlak pada saudarinya. “Aku janji kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi…”
            “Janji?”
            “Iya, aku janji!” sudut-sudut bibir Frea mengembangkan sebuah senyum khasnya. “Baiklah… Aku pegang janjimu. Aku capek di jahatin terus selama enam tahun sekolah disini…”
            “Di SMP nanti, kau pasti tidak akan di jahili lagi. Aku yakin! Bukan begitu Kyuhyun? Minnie?”
            “Kukira kau melupakan keberadaan kami…” ejek Kyuhyun. Ia berdiri disebelah Rea dan Minnie. “Iya, kalian kalo udah berdua biasanya suka melupakan kami!” sambung Minnie. Ejekan mereka kemudian disambut oleh gelak tawa Rea dan Frea.

≈≈≈~≈≈≈

            Ingatan empat tahun lalu—saat mereka masih kelas enam SD kembali terlintas dibenak Rea. Ia selalu mengingat hari dimana ia mengucapkan sumpah untuk selalu bersama dan menjaganya apapun yang terjadi.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menghabiskan es krim yang dipesan. “Nah, Frea, kita pulang yuk?” Frea mengangguk pelan. “Udah bayar es krimnya?”
            “Ya jelas udahkan…” Frea tersenyum simpul kemudian mereka pulang kerumah dengan berjalan kaki.
            DEG
            Sebuah perasaan buruk terlintas dibenak Rea ketika melewati danau. Rea menatap danau itu. Tak ada siapa-siapa disana. “Ada apa Rea? Kau sakit?”
            “Tidak… Tidak ada apa-apa…” Rea mengabaikan perasaannya. Ia yakin tidak ada apa-apa di danau itu—walaupun ia ragu. “Kami pulaang~ Mamih~ Ada semangka tidak?” Tanya Frea memeluk mamihnya dari belakang.
            “Aduh aduh anak mamih yang satu ini… Bukannya tadi habis makan es krim bareng Rea?”
            “Iya, kenapa gitu mih?”
            “Yaa… Makan semangkanya nanti lagi. Jangan sekarang…”
            “Yaaah… Mamih mah gitu…” sambil cemberut Frea kembali ke kamarnya. “Tunggu dulu Frea…” cegat mamih.
            “Apa?”
            “Ini, ada tiket dua buat ke festival musim panas besok sore. Pergilah dengan Rea..” usul mamih sambil menyerahkan dua lembar tiket.
            “Waah… Makasih mih… Dimana festivalnya?”
            “Di danau dekat kedai Michaelis itu.”
            “Hmmm… Pakai yukata ga ya?” Tanya Frea minta pendapat. “Pakai aja, pasti banyak yang pake yukata…”
            “Oke deh…” Frea segera menuju kamar Rea untuk memberikan tiket. “Reaaaa!!!”
            “Ada apa?” konsentrasi belajar Rea menjadi buyar mendengar suara toak saudarinya.
            “Kamu ngapain Re?”
            “Aku?”
            “Iya, kamu… Siapa lagi?”
            “Aku lagi ngerjain PR fisika… Kenapa?”
            “Ini… Besok, kamu ada waktu gak?”
            “Kenapa gitu?”
            “Tadi mamih ngasih tiket buat kita..”
            “Tiket apa?”
            “Festival musim panas di danau dekat kedai Michaelis itu lhoo~”
            “Oh… Jadi?”
            “Iiiih… Jadi aku ngajak kamu ke festival itu. Mau ga?”
            Rea tampak menimbang-nimbang ajakan Frea. Frea tampak bingung dengan sikap Rea. Masalahnya, baru kali ini Rea nggak langsung nerima ajakannya. “Duuh… Ga papa gitu ya kalau aku kesana? Masalahnya tadi aku ada perasaan jelek banget buat deket-deket tuh danau…” batin Rea.
            “Kalau kamu ga mau juga ga papa kok. Aku bisa ngajak Minnie…” Frea tampak sedikit kecewa. “Ok ok… Aku mau dateng! So, please don’t make face like that. It’s annoying you know?”
            “Oh, Sorry… Thanks udah mau dateng,” Frea tersenyum cerah. “Cuma karena kamu aja Frea aku mau dateng, kalau bukan karena ekamu… Pasti aku kagak mau dateng.” Batin Rea.
            “Duh, ya Tuhan… apa tidak apa-apa aku sama Frea dateng ke festival itu? Bad feeling aku kali ini bener-bener parah. Tapi, gak mungkinkan aku biarin Frea pergi bareng Minnie? Aku tau kalau Minnie itu cewek baik-baik. Tapi, diakan cewek kayak Frea. Mana bisa ngelindungin Frea? Tapii… Kalau cowok yang diajak ama Frea aku lebih gak mau… Mau dibilang sister complex juga gak masalah… Toh, emang aku protective banget sama Frea. Aku sadar itu.. Tapi aku tidak seperti Kyuhyun—pacar Minnie— yang ngatur-ngatur Minnie.. Sorry, aku tidak seperti itu.. So, please Tuhan… Semoga bad feeling aku cuma sekedar perasaan yang gak akan pernah terjadi…” doa Rea dalam hati sebelum tidur.

≈≈≈~≈≈≈

            “Ada apa ya sama Rea? Kok dia ragu gitu nerima ajakan aku? Ini pertama kalinya ia tampak bimbang…” Frea tampak mondar-mandir didepan tempat tidurnya. Memikirkan sikap aneh Rea. Tangannya terlipat di dada dan dahinya berkerut. “Aaaahh!! Peduli! Mending tidur…” Frea kemudian merebahkan dirinya ditempat tidur dan segera terlelap.
            Ditempat lain—tepatnya dunia lain, atau dimensi lain, dua orang sahabat sedang bermain-main dengan tongkat mereka. “Eh, aku mau coba mantra ini. Gimana menurut kamu?” yang lelaki menunjuk kearah sebuah kalimat di buku super tebal yang ia pegang.
            “WHAT THE HELL? Ini aku yang gila atau kamu yang bego yah?”
            “Tidak keduanya!”
            “Kamu serius mau nyobain mantra ini?”
            “Iyaaa… Aku serius…”
            “Kalau terjadi apa-apa… Aku nggak mau tanggung jawab oke?” si gadis menyodorkan kelingking kanannya. Mengerti maksud si gadis, si lelaki menautkan kelingking mereka berdua.
            “Oke… Aku janji…”


≈To Be Continued≈