Pages

Jumat, 31 Desember 2010

Amazing Adventure Chapter ~ Zwei (2) ~ {Another World}

Chapter ~ Zwei ~ {Another World}



St. Phantomhive



            “Aku yakin pasti bisa melakukannya!! Kalau tidak bisa, itu akan mempermalukan keluarga Saintcave! Well, rasa ingin tahuku ini lebih besar dari apapun juga. Walau aku tidak sepintar dia…”

≈≈≈~≈≈≈

            Disuatu tempat, ada sebuah dunia yang tak mungkin kita sadari, dunia yang kita anggap hanya ada dalam imajinasi. Apapun kata orang, kita hanya tahu bahwa dunia itu hanya sekedar dongeng belaka. Namun sayang… Dunia ini benar-benar ada. Nama dunia ini adalah… Magical World. Tempat yang penuh dengan sihir. Sihir yang sudah hilang dari dunia kita berjuta-juta—bahkan bermilyar-milyar dekade sebelum ini.
            Ada dua orang sahabat yang selalu bersama-sama. Mereka adalah Alice dan Oz. Mereka sama-sama berasal dari keluarga bangsawan yang paling terkenal di dunia itu. Alice Gidelhart dan Oz Saintcave. Maka, tak heran kalau mereka berdua saling kenal.
            “Kyaaaa~!!!” teriak segerombolan anak perempuan di sebuah sekolah. St. Phantomhive. Mereka berteriak karena sebuah sosok berjalan ditengah-tengah mereka. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Oz Saintcave. Tak jauh dari situ, seorang gadis yang sedang duduk dibawah pohon sambil membaca buku, ditatap oleh puluhan—mungkin ratusan pasangan mata. Gadis itu adalah Alice Gidelhart.
            Oz menghampiri Alice yang sedang membaca buku tebal itu. Dan kini anak-anak perempuan ataupun laki-laki sama-sama berkumpul untuk melihat idola mereka.
            “Yow!” sapa Oz simple.
            “Oh… Kau Oz. Pantas dari tadi berisik banget. Ternyata kamu toh…” Alice menatap Oz dari balik buku tebalnya. “Ada apa?”
            “Ngga… Cuma mau ngajak pulang bareng… Mau ngga?”
            “Boleh, tapi nanti ke Railpalace dulu.”
            “Mau ngapain?”
            “Ada buku yang ketinggalan kemarin…”
            “Oh, oke deh…” kemudian Oz berlalu meninggalkan Alice. Well, Railpalace adalah nama sebuah tempat perkumpulan empat keluarga bangsawan terbesar. Gidelhart, Saintcave, Vessalyn, dan Nightfield. Keempat keluarga itu selalu berdiskusi disaat-saat tertentu mengenai Magical World ini. Keempat keluarga ini juga menguasai hampir seluruh aset magical world yang luas ini. Dan mrekapun tidak pernah saling bersaing karena mereka menguasai bagian-bagian yang berbeda.
            Keluarga Gidelhart, menguasai ilmu sihir paling tinggi, gate, pertambangan dunia, dan pembuatan barang-barang sihir. Keluarga Saintcave, menguasai bidang kedokteran dan berbagai hal yang berhubungan dengan itu. Keluarga Vessalyn, menguasai perekonomian dunia kecuali pertambangan. Dan keluarga Nightfield, menguasai kependidikan dan publikasi. Sisanya dipegang oleh kementerian sihir.
Teng tong teng tong teng teng tong teng tong… Bel memecah keheningan sekolah murid-murid yang belajar. Tak butuh waktu lama bagi sekolah itu untuk kembali menjadi ramai kembali. Alice mendatangi perpustakaan sekolah untuk mencari sesuatu. Tak sangka disitu ia menemui sebuah sosok yang jarang tampak diperpustakaan. Sosok itu adalah Donghae. Salah satu penyihir playboy yang kerjanya cuman menggoda anak-anak perempuan.
            “Hai!” sapa Donghae.
            “Oh… hai, ada apa?” jawab Alice acuh tak acuh.
            “Cuma mau nanya soal jawaban kamu atas pernyataanku yang kemarin… Gimana?” Tanya Donghae sambil mendekati Alice. Alice mengerti maksud pertanyaan Donghae. “Maaf, tapi aku masih belum ingin pacaran. Cari perempuan lain saja,” tolak Alice. Donghae menaikkan sebelah alis matanya tanda tak percaya. Gimana mungkin cowok ganteng, salah satu dari empat bangsawan besar dan romantic ini ditolak oleh Alice! Cewek yang ditaksirnya sejak lama.
            “Apa karena ada Oz dihatimu?”
            “Oz? Hahaha… Tidak, dia tidak lebih dari sekedar sahabat. Aku sama dia Cuma teman sejak kecil…” kelakar Alice. Ia tak percaya sempat-sempatnya Donghae berpikir ia menyukai Oz. Oh, Well, ya memang Alice menyukai Oz. Tapi hanya rasa suka sebatas teman. Tidak lebih juga tidak kurang.
            “Donghae… Masih ada Hyukie… Ia gadis yang lebih cantik dari aku juga lebih baik.” Alice menepuk bahu kanan Hae dan meninggalkannya sendirian dibangku yang ditempatinya.
            “Oh… Bullshit!” umpat Hae dalam hati. Ia tahu kalau Alice berkata seperti itu karena Hyukie naksir berat ke Hae. Alice mengembalikan setumpuk buku yang sempat ia pinjam beberapa minggu yang lalu. Setelah mengembalikkan buku, ia segera keluar menuju kelas Oz.
            “Oz?”
            “Oh, kau Alice. Sini! Aku masih harus piket dulu…” tampak sosok Oz sedang menghapus papan tulis bersama teman sekelasnya yang lain. “Mau kubantu?” Tawar Alice ke seorang siswi yang sedang mengelap jendela yang penuh debu.
            “Oh, nona Alice. Jangan. Nanti tangan nona kotor…” gadis itu mnggeleng pelan.
            “Panggil aku Alice saja… Tidak apa… Aku senang bersih-bersih kok…” sekali lagi Alice menawarkan diri. “Baiklah…”
            Alice menerima lap yang dipegang gadis itu dan segera mengelap jendela. Gadis itu mengambil sapu disudut ruangan sambil menatap Alice. “Nona Alice memang cantik ya. Tubuhnya yang langsing, matanya yang hijau… Benar-benar mata seorang penyihir sejati! Dan oh, rambut pirangnya cantik sekali! Berkilauan begitu ditimpa sinar matahari. Belum lagi sikap ramah dan kepintarannya. Perfect banget!” Batin gadis itu sambil tersenyum simpul. Pandangannya beralih kearah Oz yang sedang merapihkan meja guru.
            “Apa seluruh keluarga bangsawan itu cantik-cantik dan tampan-tampan ya? Lihat saja Tuan Oz. Ia tinggi, pintar, dan tampan. Matanya berwarna merah darah… Ciri khas keluarga Saintcave.. Tuan Donghae dan Nona Maria juga sama,”
            “Kau kenapa?” sebuah suara membuyarkan lamunan si gadis. Dihadapannya kini berdiri sosok Alice dan Oz yang tampak khawatir. Sontak ia kaget dan mundur selangkah.
            “Tidak ada apa-apa… Ah, kelas ini sudah bersih, sebaiknya kita sudahkan saja piket hari ini..” ujar gadis itu sambil meletakkan kembali sapu yang tidak jadi ia gunakan.Alice dan Oz hanya mengedikkan bahu. Tak mengerti mengapa wajah gadis itu memerah.

            “Selamat siang Nona Alice dan Tuan Oz…” ucap seluruh pelayan—atau pekerja Railpalace kepada mereka begitu mereka memasuki wilayah Railpalace. Letak Railpalace dari St. Phantomhive memang tidak terlalu jauh. Makanya, hanya dengan berjalan kaki tiga puluh menit, mereka sudah sampai. Kalau naik sapu terbang cuman memakan waktu sepuluh menit. Dan mereka biasanya lebih sering berjalan kaki ketimbang menaiki sapu terbang. Alasannya simple aja. Pingin olahraga.
            “Eh, Alice…” panggil Oz ketika mendapati dirinya hanya berdua saja diruang peristirahatan.
            “Ada apa?”
            “Nggg… Keluarga kamu yang ngurusin soal sihir kan dan punya berbagai macam buku sihir terlarang kan?”
            “Iya… Memang ada apa?” sebuah firasat buruk terlintas dibenakknya.
            “Aku pinjem salah satu bukunya doong… Please…” Oz memohon dengan mata berbinar-binar.
            “Buku apa yang mau kau pinjem?”
            “Forbidden-book…” jawab Oz pelan.
            “Eeeeh??? Yakin kamu mau pinjem yang itu? Itukan terlarang banget. Bakal susah lho dapet izinnya…” tutur Alice kaget.
            “Ma-ka-nya… Itulah gunanya ada kamu Alice… Aku minta tolong buat dapet izinnya… Gimana?”
            “Oke deh… Aku usahain tapi… kalo tidak berhasil jangan marah ya?”
            “Iya deh… Tapi usahain dapet yah?”
            “Iya iya…” Alice hanya bisa pasrah. Ia tahu Oz bakal tetep ngotot sampai keinginannya terpenuhi. “Yuk pulang…”

            Ditengah gelapnya malam, semua orang tengah terlelap dalam mimpinya masing-masing. Namun tidak dengan Alice. Ia sedang mengendap-endap menuju sebuah ruangan. Ruang kerja Tuan besar Gidelhart—ayah atau kepala keluarga Gidelhart.
            Tok Tok Tok… Alice mengetuk ruang kerja itu. Ia tahu masih ada orang diruangan itu. “Ya, masuk…”
            “Ayah…” panggil Alice takut-takut. “Oh… Alice, ada apa?”
            “Nggg… Aku ada sebuah permintaan…” Alice menundukkan wajahnya.
            “Apa itu?”
            “Boleh pinjam buku forbidden-book?” Sontak, sang ayah terkejut. Matanya membelalak tak percaya.
            “No.” tegas sang ayah.
            “Tapi ayah…”
            “Tidak ada tapi-tapian! Sekarang cepat kembali kekamarmu dan tidurlah!” Alice keluar ruangan itu dengan wajah merenggut. Ia tahu pasti akan ditolak, namun apa salahnya mencoba?
            “Yaahh… Ngga boleh… hmmm…” sambil berjalan kekamarnya, Alice tampak berpikir keras. Sebuah ide cemerlang terlintas diotaknya yang pintar.
            “Hehehehe… Kalo nggak bisa dengan cara baik-baik… Kan bisa kupinjam tanpa izin…” seringai jahat terukir jelas diwajah manisnya itu. Dengan perlahan-lahan, Alice berjalan kearah yang berlawanan dengan kamarnya. Ia berjalan kearah ruang perpustakaan. Perpustakaan paling lengkap diantara empat keluarga bangsawan. Dan disitu pula letak disembunyikannya forbidden-book.
            “Bagus deh sepi… Hmmm, mulai dari mana yah?” Alice mengunjungi salah satu deret rak buku yang menjulang tinggi ke langit-langit. “Iiiihh… Tinggi banget! Ah, pake sihir aja…”
            Alice merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah tongkat kecil sepanjang kurang lebih 30cm.
            “Rapidly ascending…” gumam Alice. Tampak seberkas sinar mengelilingi Alice. Kemudian perlahan-lahan tubuh Alice terangkat keatas. “Hmmm... Kayaknya bukan disini…” Alice terbang meninggalkan rak buku itu dan beralih kesebuah rak dari kayu eboni. Rak tempat buku-buku terlarang berada. Mata Alice mencari forbidden-book dengan cekatan. Matanya terarah kebagian tengah rak. Sebuah buku berwarna ungu dengan ketebalan tak terkira, terpampang jelas. Diraihnya buku itu. Tapi, sama sekali tak ada judul untuk buku yang tebal itu. Dengan rasa penasaran, Alice membuka buku dan membacanya.
            “Bab I… The Gate… To getting of best of this secret magic, you must have a big power of magic. Usually, only four big noble who can use it. They are Gidelhart, Saintcave, Vessalyn, and Nightfield. But, the best are Gidelhart and Saintcave. They can open the gate to another world. Or always we called as Jotunheimer, or human world.” Alice melotot tak percaya dengan apa yang dibacanya.
            “Jadi… Ada dunia lain selain dunia ini??” bisik Alice sangat pelan. Alice membawa buku itu dan kembali kekamarnya. Ada sebuah rasa ingin tahu yang begitu besar mengenai dunia lain itu.
Apparent this book,” Alice mengayunkan tongkatnya kearah buku itu. Buku berwarna ungu itu kini berubah menjadi warna merah muda yang cantik dengan tulisan emas sebagai judulnya, Little Witch and the Magical Pearl. Sebuah judul buku dongeng anak-anak. Biarpun sampulnya berubah, namun isinya sama sekali tak berubah sedikitpun.

            “Oz…” panggil Alice dari  balik pintu kelas Oz. Segeralah Oz menoleh kearah sumber suara.
            “Yo! Ada apa?”
            “Ini soal buku itu…” ujar Alice sedikit ketakutan. “Kau dapat bukunya?”
            “Entahlah… Aku tidak tahu apa ini buku yang kamu cari…” Alice menunjukkan sebuah buku tebal berwarna merah muda. Terang saja Oz kaget.
            “Huwahahahahaha!!! Alice Alice… Inikan buku dongeng… Bukan buku itu…” gelak Oz.
            “Jangan lihat sampulnya. Lihat saja dalamnya!” bentak Alice dengan nada sedikit mengancam. Oz membuka buku itu sedikit dan membaca judul bab I. “The Gate…”
            “Yap… Ini buku yang kucari… Tapi, sebaiknya kau sembunyikan buku ini! Jangan sampai ada satu orangpun yang tahu kita membacanya!” bisik Oz tepat ditelinga Alice. Alice mengangguk tanda mengerti dan segera kembali kekelasnya. Disembunyikannya buku itu disebuah kantong plastic berwarna perak hingga Oz menghampirinya saat pulang sekolah.
            “Alice, kita pulang sekarang…” Alice mengangguk pelan seraya memegang erat tasnya. Mereka tidak pulang kerumah masing-masing. Melainkan ke sebuah padang kecil dan terpencil didaerah situ. Mereka duduk diatas dahan pohon besar sambil membaca buku yang dipesan Oz.
            “Memang kenapa kau mau baca buku ini?”
            “Karena… Aku penasaran dengan makhluk dunia lain. Kupikir sekiranya dibuku ini ada cara untuk ke dunia lain itu.” Jawab Oz enteng. Alice menggeleng-geleng kepalanya. Setelah Oz selesai membaca hingga bab yang paling ia cari, ia mengembalikan buku itu pada Alice.
            “Tengah malam nanti temui aku disini. Dan bawa buku itu…” perintah Oz. Alice menatap Oz sedikit ragu. “Apa?”
            “Tidak, tidak apa-apa…” elak Alice. Sekarang, mereka benar-benar pulang kerumah masing-masing. Alice merasa gelisah menunggu tengah malam datang. Sesekali ia melirik ke arah jam tangan. Berkali-kali ia melakukannya hingga jam menunjukkan waktu pukul 23.00. Jarak dari kediaman Gidelhart ke padang itu, memakan waktu satu jam. Sehingga Alice segera menyambar sapu terbangnya dan menuju padang itu.
            “Oz… Oz…” panggil Alice dari bawah pohon.
            “Ah… Alice, aku turun sekarang…” Oz menampakkan dirinya dari atas pohon.
            “Jadi, kau mau ngapain?”
            “Ngg… Kau bawa bukunya?”
            “Iya… Ini…” Alice menyerahkan buku tebal itu. Oz menerimanya dengan wajah penuh senyum. Ia membuka-buka halaman buku itu dengan kasar.
            “Hei! Jangan merusaknya! Itu buku berharga tau!!” bentak Alice sambil berkacak pinggang.
            “Ah, maaf maaf… Ahh… Ini dia. Alice, aku ingin membuka gate dengan mantra ini... Gimana menurut kamu?” Oz menunjuk kesalah satu kalimat dibuku itu.
WHAT THE HELL? Ini aku yang gila atau kamunya yang bego yah?”
            “Tidak keduanya!”
“Eeeeh?? Serius? Kamu mau membuka gate?”
            “Yap. Aku serius… Ada yang ingin aku… Ah, tidak lupakan…”
            “Tapi, kaui tahukan bahwa ada Undang-Undang yang mengatur tentang gate? Kita tidak boleh sembarangan membuka gate tanpa izin kementerian!! Kalau ketahuan…” Alice bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi.
            “Tapi akukan salah satu dari empat bangsawan besar lho… Kau lupa ya?”
            “Tidak ada pengecualian untuk itu!”
            “Ayolah Alice… Kamu pura-pura tidak lihat saja ya?” bujuk Oz. Alice sejak kecil memang tidak suka dilihat dengan tatapan memohon seperti Oz sekarang.
            “Aaaa… Baiklah… Tapi janji kalau ada apa-apa kau yang tanggung jawab! Aku tak mau terlibat dengan kekonyolanmu! Oke?” Alice menyodorkan jari kelingkingnya. Mengerti maksud Alice, Oz menautkan kelingking mereka erat. “Aku janji…”
            Ditengah-tengah padang, Oz menggambar sebuah lingkaran. Lingkaran transmutasi. Lingkaran yang sering dibuat oleh para Alchemist.
            “Kau siap Oz?”
            “Emm… Aku siap.. Mundurlah… Aku akan segera mengucapkan mantranya…” Oz mengisyaratkan agar Alice mundur menjauhi lingkaran transmutasi itu.
            “Aku yakin pasti bisa melakukannya!! Kalau tidak bisa, itu akan mempermalukan keluarga Saintcave! Well, rasa ingin tahuku ini lebih besar dari apapun juga. Walau aku tidak sepintar Alice…”
Open the portal to Jotunheimer!” gumam Oz pelan namun masih dapat terdengar oleh Alice yang jaraknya sepuluh meter dari tempat Oz berdiri. Sinar hijau muncul dari garis-garis lingkaran transmutasi. Kemudian sebuah benda muncul dihadapan Oz. Benda itu berbentuk gerbang. Pintu gerbang perlahan-lahan terbuka. Menampakkan sesosok anak kembar sedang makan takoyaki. Mereka tertawa dan bercanda bersama. Namun, penampakkan itu hanya sesaat saja. Karena tak lama kemudian, gerbang itu menghilang dari hadapan Oz.
            “Gimana?” Tanya Alice ketika gerbang tersebut telah menghilang.
            “Kayaknya gagal deh…” Oz tertunduk lesu. Ia tak menyangka usahanya gagal secepat ini. Alice tampak tak tega pada sahabatnya ini. “Ya sudahlah… Sekarang kita pulang yuk?” Mereka meninggalkan padang itu tanpa tahu apa yang akan terjadi dihari esok.


≈To Be Continued≈

Tidak ada komentar:

Posting Komentar